Wednesday, December 18, 2013

Sokola Rimba oleh Butet Manurung [2013]

Baca tulis setidaknya akan memberikan mereka lebih banyak pilihan karena hanya lewat pendidikanlah (yang tidak sekadar baca tulis hitung, tapi juga peningkatan kapasitas dan jaminan habitat tempat hidup) mereka mampu memposisikan diri terhadap dunia luar dan dengan merdeka menentukan arah pembangunannya sendiri. Mau tidak mau, ini harus! Karena modernitas sudah mulai menohok ke dalam kehidupan rimba [p.37]

Beberapa saat setelah membaca buku ini, muncul dalam otak saya bahwa apa yang terjadi dalam kegiatan sekolah Orang Rimba yang dilakukan oleh Butet Manurung ini adalah sebuah contoh bentuk kegiatan pendidikan yang sesungguhnya. Bahwa pendidikan tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan peserta didiknya. Kegiatan baca tulis hendaknya juga merupakan tahap awal pendidikan selanjutnya. Butet membuktikan bahwa perjuangan pendidikannya benar benar membutuhkan proses yang luar biasa mulai dari menangani ketidakmauan hingga akhirnya tercipta suatu kehausan akan ilmu dan pengetahuan dari murid-muridnya.

Perjuangan literasi Butet berawal dengan kenyataan bahwa Orang Rimba tidak tertarik dengan kegiatan pendidikan yaitu baca dan tulis.  Baik itu para orang tuanya maupun anak-anaknya. Sebelum keterlibatan Butet di rimba Jambi ini, menurut Cerinay, salah satu Orang Rimba dewasa, pernah membeli buku-buku untuk mengajar anak-anak setempat membaca, mewarnai dan berhitung.
Tapi mereka tidak ada yang mau, sampai buku-buku itu kemudian rusak semua. Menurutnya, orang-orang di sini hanya berpikir bahwa mereka harus berusaha mendapatkan hasil-hasil rimba yang bisa dijual ke luat dan dapat menghasilkan banyak uang untuk membeli barang-barang seperti kue atau radio, tanpa sedikit pun ingin berpenghidupan seperti orang terang. Artinya, mereka suka sekali hutannya, suka juga mencari uang namun tidak dapat melihat kegunaan belajar baca-tulis-hitung.  Mereka tidak melihat adanya hubungan yang erat antara literacy dan pendapatan (dan tentunya juga berkaitan dengan kelestarian hutan, jika ingin kesejahteraannya bisa berkelanjutan ke anak cucu) [p.72]

Bahkan ketika Butet berhasil mengajak mereka untuk menikmati kegiatan menggambar, mereka masih belum tertarik denga kegiatan belajar. Apakah kalian ingin sekolah dengan aku?" Serta merta mereka meggeleng cepat, pensil dan kertas dilepaskan, lalu mereka asyik bermain sendiri, aku dicuekin. [p.35].  Bagusnya, Butet tidak mudah putus asa. Segala cara dan daya upaya dilakukannya untuk memenangkan keinginan anak-anak ini untuk belajar. Mulai dengan menggambar, bercerita hingga belajar naik sepeda. Ketika mereka merasakan keberhasilan bisa naik sepeda, lesson learned yang mereka dapatkan adalah: Segala sesuatunya memang dimulai dari tidak tahu tapi kalau belajar terus, jadi mahir. [p.102] Hubungan pribadi yang akrab dan menyenangkan dengan kombinasi kehidupan di alam rimba dan tantangan-tantangan yang dihadapi bersama menciptakan sebuah suasana belajar yang fleksibel, tidak kaku bahkan kadang menimbulkan kekocakan dari kepolosan anak-anak rimba ini.

Perlahan namun pasti, perubahan terjadi. Anak-anak rimba ingin sekolah. Sekitar tujuh anak Orang Rimba mendesakku untuk segera mengajarkan mereka angka dan abjad. Aku cukup khawatir dengan orang-orang tua yang terus mengawasiku [p.99]. Menarik untuk mengetahui respon mereka ketika Butet menawakan sekolah 'formal' yang ada di desa dekat rimba mereka. Tidak mau, guru di desa suka menghukum, tidak suka bercanda. Katanya mereka juga yang menentukan jam berapa sekolahnya dan apa yang dipelajari. Kami senang diajar kamu asal kamu masuk hutan. [p.104] Nah kelihatan sekali bagaimana Butet sudah menciptakan suasana belajar dan menumbuhkan keinginan anak-anak rimba untuk belajar. Hingga akhirnya salah satu anak mengungkapkan keinginannya. Ibu, beri kami sekolah!" [p.103]

Penasaran dengan strategi Butet dalam memberi pelajaran bagi orang rimba, berikut teknik-teknik pembelajaran dari Butet yang berhasil saya temui dari buku ini:

- Membuat kamus bahasa setempat.
Aku membuka kamus saku bahasa rimbaku yang cuma 100 kata itu. [p.11]
Dengan mengetahui bahasa setempat, komunikasi akan mudah terjalin.  Lebih dari itu, masyarakat setempat akan merasa mereka dihargai budayanya pula.  Suatu entry point untuk bisa diterima oleh komunitas setempat, sebelum lebih jauh masuk membawa 'misi' tertentu.

- Pura pura cuek untuk menangkap perhatian anak-anak.
Melakukan pendekatan dengan anak-anak rimba susah susah gampang. Tekhnik yang dilakukan Butet adalah pura-pura cuek.Akupun pura-pura cuek supaya dia penasaran [p.11]

- Menyesuaikan diri dengan kebiasaan lokal.  Ini mirip dengan mempelajari bahasa lokal. Hanya saja, apa yang dilakukan Butet memberi kesan 'kesaktian' Butet untuk menunjukkan bahwa pena dan notes bisa menjadi senjata 'kesaktian' yang dimaksud. Demikian juga dengan usaha menghafal nama-nama Orang Rimba dalam waktu cepat dengan menggunakan notes dan pena. Butet menunjukkan kemampuannya dengna menyebut 30 nama Orang Rimba kurang dari setengah jam karena ia mencatatnya [menggunakan pena dan notes]
Pada kunjungan ini aku hanya dapat menangkap kesempatan untuk "masuk" melalui dunia pantun mereka. Ketika mereka menyanyikan lagu-lagu rimba, aku merekamnya dalam recorder, lalu mencatat ulang di malam hari. Keesokan paginya menyanyikannya lagi bersama-sama....Ini membuat mereka terheran-heran. "Bonten seketi" (Butet sakti). Mereka bertanya....Aku lalu menjelaskan fungsi tape recorder dan menulis [p.31]

- Mengangkat kegiatan sehari-hari mereka dalam bentuk gambar dan tulisan.  Ini adalah teknik 'mengambil hati' pelan-pelan dengan memancing kegiatan belajar yang menyenangkan.
Mereka lalu ingin mencoba ikut menggambar....ada yang menggambar ular, tupai, babi dan kijang. Anak yang tidak kebagian pensil, aku ajak menggambar dengan ranting di atas tanah. [p.32]

Mereka bertanya, bagaimana aku bisa mengingat nama lebih dari 30 orang dalam waktu sesingkat itu  (kurang dari setengah jam)? Aku menunjuk notesku dengan pena.Aku tidak sadar bahwa itu sudah mencengangkan mereka....Nah disini aku bisa bacakan surat dari ibuku, buku cerita tentang sejarah kerajaan Jambi, komik-komik lucu tentant binatang....aku hanya melihat sedikit celah untuk mengenalkan baca dan tulis.

- Mental"Muridku adalah guruku". 
Untuk bisa masuk dalam kebudayaan masyarakat setempat, belajar dari orang-orang setempat merupakan kegiatan belajar mandiri sang guru juga.

Perjuangan Butet memberi pendidikan pada anak-anak rimba ini tidak sia-sia. Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran di sokola rimba, terbukti anak-anak bisa menghitung, mengalikan jumlah uang yang seharusnya didapat dari menjual hasil hutan; mereka bisa membaca surat kesepakatan baru antara Orang Rimba dan Desa Rantau Limau Manis. Dengan demikian mereka tidak terkecoh atau menandatangani sesuatu yang mereka tidak pahami. Tentu saja hal ini membanggakan masyarakat Orang Rimba [p.222-223].

Proses pendidikan yang sebenarnya adalah ketika anak-anak rimba akhirnya menemui pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari keingintahuan mereka sendiri seperti:  Apa itu Aceh; Kenapa orang tidak bisa bernapas sambil menelan? ;  kenapa tidak bisa tulis surat pengaduan tentang para pencuri kayu di hutan? Bahkan tidak tahu harus mengadu ke mana; kenapa sungai tiap tahun bertambah dangkal?; kenapa harga naik? Orang bilang subsidi pemerinta dikurangi karena hutang kita ke luar negeri banyak. Apa itu subsidi? Kenapa tidak cetak uang banak-banyak saja? [p.226] ; kenapa ada orang jahat, ada orang baik?; kenapa aku dilahirkan sebagai Orang Rimba? ; bisakah aku jadi dokter seperti Ibu Ati? [p.228]

Jika dikaitkan dengan kegiatan literasi informasi dalam kegiatan pendidikan, disinilah letak titik awal penerapan keterampilan literasi informasi. Mereka membutuhkan sumber-sumber informasi. Seandainya ada perpustakaan dengan koleksi yang 'bagus', saya yakin Orang Rimba akan dapat menjadi pembelajar seumur hidup, dan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari adalah ujian keterampilan mereka.  Apalagi kalau ada pustakawan yang mau mendampingi mereka belajar ... semacam guru pustakawan begitu. Sempurna.

Sekarang, saya siap menonton film garapan Riri Reza dan yang diproduseri oleh Mira Lesmana serta dibintangiPrisia Nasution ini. Usaha saya untuk membawa film ini masuk sekolah tempat saya bekerja berhasil.  Kepala Sekolah yang sudah membaca bukunya dan menonton filmnya, sangat terkesan serta menyetujui pemutaran filmnya. Rencananya, film ini akan diputar tanggal 29 Januari 2014 berkaitan dengan kegiatan Word Week. Saya rasa para siswa di sekolah internasional perlu juga tahu bagaiamana bentuk pendidikan yang sama sekali berbeda dari yang mereka alami selama ini dan belajar dari dalamnya. Apalagi kami juga berencana mengundang Riri Reza, Mira Lesmana, Prisia Nasution dan tentunya Butet Manurung. Ini akan memberi kesempatan untuk tanya jawab langsung.

Saya penasaran sekali untuk melihat visualisasi buku yang saya sukai ini.

No comments:

Post a Comment