Tuesday, January 20, 2009

membaca recto verso

Buku karya Dee berjudul Recto Verso belum lagi habis saya baca namun gairah membaca saya tiba-tiba hilang. Bukan karena kesibukan sehari-hari atau lagi bad mood atau lagi ada masalah atau apalah...Pokoknya yang terasa adalah kegetiran dalam menikmati bacaan ini. Dan ini begitu terasa hingga mata ini seolah-olah terantuk-antuk mengikuti kata demi kata dalam buku itu. Suami saya membelikan buku ini, karena ia tahu kebingungan saya untuk memilih buku ini atau eclipse-nya Stephenie Meyer. Sebelumnya beliau juga paham kebimbangan saya saat memilih Pandora atau buku ini. Singkat cerita, saya berterima kasih karena akhirnya toh buku ini sampai ditangan saya, dan saya prediksi buku ini akan saya selesaikan paling lama dua hari. Tapi ini sudah memasuki minggu ke-dua, dan saya masih berjuang memelototi buku itu dan dan berusaha sangat keras untuk menyelesaikannya.

Setelah saya berpikir kejadian ini, akhirnya saya menyadari bahwa membaca buku sama dengan menikmati hidangan. Kecapan makanan sebelumnya, kadang mempengaruhi penilaian kita terhadap hidangan selanjutnya. Apalagi kalau sajian makanan selajutnya dihidangkan dalam tenggat waktu yang cepat sesudah hidangan sebelumnya dinikmati. Ini terpisah dari wisata kulinernya Bodan Winarno ya. Artinya, tanpa saya sadari,kecapan romansa keunikan cinta yang begitu kuat dalam Twilight dan New Moon masih kental terasa dilidah saya. Dan saat itu mata saya dengan rakusnya ingin melahap habis Rekto Verso.

Perlahan tapi pasti lidah membaca saya meresapi beberapa bagian unik dari tulisan-tulisan Dee. Dee trampil dalam mengangkat hal pritil-pritil di sekitar kita menjadi sesuatu yang tidak biasa bahkan mempertajam asa manusia. Ia juga pandai mengangkat sisi-sisi kehidupan manusia biasa menjadi tidak biasa dalam pilihan kata-kata yang sederhana tapi sarat makna. Buku Dee yang saya baca terakhir adalah filosofi kopi. Ibarat diet dua hari dengan konsumsi singkong, sayur rebusan dan tanpa gorengan, lalu kita duduk di restoran Manado yang ada cakalang, ikan tude bakar, ayam rica-rica, daun pepaya, dabu-dabu dan sepiring nasi hangat. Setelah itu ditutup dengan es kacang merah... well semangkuk kecil gohu pepaya!! wuah...mantab dan pas.

Suatu hari, ketika sedang bercengkrama dengan keluarga sambil menonton teve, tiba-tiba muncul video klip Malaikat Juga Tahu di layar kaca itu. Spontan saya bercerita tentang Malaikat Juga Tahu yang saya baca dari rekto verso. Kedua anak saya lumayan kelihatan terkesan. Entah atas ceritanya, lagunya atau video klipnya atau bahkan ketiganya.

Lalu mengapa lidah memabca saya masih terasa hambar? Setelah berusaha mengindentifikasi rasa-rasa ini sambil sedikit berpikir-pikir selama tiga hari terakhir ini, saya temukan jawabanya. Ternyata jawabannya ada pada EKSPEKTASI SAYA TERHADAP REKTOVERSO. Ini yang membuat lidah saya terasa hambar, karena rektoverso tidak dapat memenuhi ekspektasi saya tersebut. Ekspekatasi apa? Kali ini sama seperti supir bajaj kalo mau belok, hanya Tuhan dan saya saja yang tahu..

Tapi saya tetap merekomendasikan buku ini untuk dibaca seluruh bangsa Indonesia. Bahkan diluar Indonesia. Agar dunia tahu bahwa Indonesia punya seorang Dee yang berbakat dalam menyanyi dan mengarang. Atau mengarang dan menyanyi.

Bacalah bukunya! Saya percaya rektoverso akan terasa berbeda di lidah anda [ehem...jangan dimakan mentah-mentah ya bukunya...]

Sssstt..kunjungi http://www.dee-rectoverso.com/web/ untuk tahu lebih banyak tentang rekto verso, dan kasih tahu ya...apa rasa recto verso di lidah membaca anda...

No comments:

Post a Comment