FIlm Soekarno Garapan Hanung Bramantyo (2013)
Berangkat dari menonton
film berjudul Soekarno yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo, saya jadi
penasaran dengan kepribadian Soekarno lebih jauh lagi. Agak terlambat sih, after more than 40 years, baru sekarang penasarannya. Lebih baik terlambat daripada
tidak sama sekali, pikir saya membenarkan diri sendiri:)
Meskipun tidak secara khusus mendalami kepribadian atau sepak terjang Soekarno sebelumnya, film ini sepertinya tidak memenuhi ekspektasi saya
tentang pribadi Soekarno yang ada di bayangan saya sebelum nonton. Saya kurang sreg dengan adegan-adegan
yang kelihatannya justru menunjukkan pribadi Soekarno yang lemah. Misalnya, ada
scene dimana Soekarno diminta untuk
bergaya saat difoto oleh orang Jepang dengan latar belakang orang-orang
Indonesia yang sedang bekerja romusha, bahkan ada potongan gambar yang
menunjukkan seorang laki-laki yang sudah tidak berdaya dengan luka-luka
dimukanya kemudian dimasukkan begitu saja ke dalam gerobak dengan kepala
tergantung ke bawah, dan Soekarno hanya menatap diam. Ngak mungkin Soekarno begitu.
Selain itu, ada pula saat
Soekarno berada di kompleks rumah bordil, dengan satu truk yang memuat
perempuan-perempuan panggilan untuk para tentara Jepang. Setelah itu tertangkap kesan betapa kasar
dan buasnya tentara-tentara Jepang itu memperlakukan perempuan-perempuan
panggilan itu dengan terdengarnya teriakan-teriakan ketakutan mereka. Soekarno
berada di situ, dan terdiam. Oke lah.
Itu pertengahan film, saya masih berharap keperkasaan dan kepahlawanan Soekarno akan terungkap di
akhir film. Saya tetap tidak menangkap
kesan itu, setelah melewati scene
proklamasi RI. Gambaran Bung Karno yang berapi-api dan memancarkan karisma yang kuat, sama sekali tidak terpancar dari film ini.
Harapan saya, setelah
nonton film ini saya akan pulang dengan kesan betapa luar biasanya Presiden
pertama RI. Tidak, saya tidak dapatkan itu.
Hal yang saya dapatkan adalah bagaimana pesona Soekarno cukup membuat
para perempuan ‘klepek-klepek’. Hanya itu? Saya protes dan tidak terima...
Keesokan harinya, saya hunting buku-buku tentang Ir. Soekarno.
Saya menemukan empat buku tentang Soekarno. Saya sudah tidak sabar mengetahui lebih jauh tentang siapa Presiden saya yang pertama ini, dan saya temukan buku-buku yang (tampaknya) mudah dilahap. Saya menemukan banyak hal dari pribadi dan kehidupan Soekarno yang begitu dalam dan membanggakan. Jauh dari kesan yang saya terima dari film yang saya tonton. Saya hanya mengangkat sedikit saja dari banyak hal itu dari ke-tiga buku-buku tersebut. Banyak kutipan yang akhirnya saya ambil dari buku-buku tersebut. Satu buku yaitu Bung Karno: Sang Singa Podium (2013) karya Rhien Soemohadiwidjojo tidak banyak saya ungkap ditulisan ini, karena bukunya menunjukkan kedalaman makna dari pidato-pidato yang disampaikannya.
Soekarno: pembaca, penulis and pembelajar
Hal pertama yang sudah merebut perhatian saya adalah Soekarno adalah
pembaca yang rajin. Di film kesan ini
tampak saat ia sedang mendekati Fatmawati, dengan menunjukkan beberapa buku
untuk dibacanya. Setiadi (2013)
mengungkapkan bahwa ia [Soekarno-pen] menunjukan komitmennya dalam belajar. Ia
banyak membaca buku dan terus membacanya hingga kemudian paham (p.43). Lebih lanjut Soekarno digambarkan sebagai sosok
yang tidak pernah mengesampingkan kesempatan membaca buku. Baginya, buku adalah
harta yang tak ternilai. Dengan membaca buku dunia seperti dalam genggaman
(p.44). Dimata Tjokro, Soekarno adalah anak muda yang sangat cerdas, potensial dan penuh keseriusan dalam belajar….salah satu bakat potensial yang dikagumi Tjokro dari diri Soekarno ialah kegemarannya menulis. (p.39).
Herman Kartowisastro, kawan bung kArno di masa kecil dan kawan saat bersekolah di HBS, pernah mengenang tentang semangat belajar Bung Karno: Ia seorang yang pandai dalam segala bidang, seorang all-around, seorang jenius. Semua mata pelajaran, baik bahasan sejarah maupun ilmu pasti atau ilmu lainnya, dikuasainya, diganyangnya mentah-mentah. Pun dalam bidang melukis dan menggambar. Ia menunjukkan bakatnya. (43-44)
Bahkan lebih jauh lagi ada kutipan dari apa
yang pernah diucapkan oleh Soekarno bagaimana ia memandang buku dalam hidupnya:
” Aku mencari hiburan di lapangan lain, aku meninggalkan dunia yang fanan ini
masuk ke dalam dunia yang lebih abadi, lebih besar, lebih mulia, lebih berisi
yaitu alamnya, alamnya akal, alamnya batin (the
world of mind)…aku baca buku-buku tatkala kawan-kawanku pemuda hanya
mengetahui kitab-kitab dari sekolahnya saja, aku telah membaca di luar sekolah
itu” (Setiadi, 2013:44-45). Dapat dibayangkan bagaimana wawasan sang Presiden
saat itu, bagaimana kesenangannya membaca buku yang terus meningkat, terbayang,
bagaiman Bung Karno dan buku demikian menyatu.
Soekarno merasa tidak
tentram melihat penjajahan yang dialami bangsanya. Karisma yang dimilikinya ditambah dengan kemampuan
komunikasi verbal khususnya public
speaking, saat berbicara di depan orang banyak, maupun komunikasi tertulis
lewat tulisan-tulisannya di media massa, mampu memicu semangat rakyat Indonesia
untuk bangkit melawan penjajah. Tentu
saja, pemerintahan Belanda melihatnya sebagai ancaman. Bagaimana tidak,
tema-tema pidato Soekarno menurut Soemohadiwidjojo (2013) berkisaran pada
mengobarkan semangat nasionalisme, semangat persatuan, dan menaikkan harga diri
sebagai suatu bangsa (p.55).
Darimana sumber-sumber bacaan itu diperolehnya? Di Ende, tempat pembuangan Soekarno oleh Belanda, ia berkawan karib dengan para pastor, diantaranya Pastor Huijtink, Pastor Bouma dan Pastor johannes Van der Heijden. Pastor-pastor ini memberi kunci ruangan mereka kepada Soekarno dengan maksud agar Soekarno bisa membaca buku-buku di perpustakaan pastor, kapan saja ia inginkan (de Jonge, 2013:17-18)
Soekarno: sang guru
Dalam buku yang ditulis oleh de Jonge, ada hal menarik yang sebetulnya bisa diambil hikmahnya. Tentang pelajaran Sejarah. Pelajaran IPS yang banyak mengupas Sejarah di kelas 4 SD, saya peroleh dengan nilai 4 di raport. Sekiranya guru-guru Sejarah saya saat itu belajar tentang cara mengajar Soekarno bahwa Sejarah bukan melulu menghafal peristiwa, nama dan tahun, mungkin saya akan menjadi mahasiswa dan lulus dari jurusan Sejarah saat ini. Bung Karno berkata" Aku memberikan alasan mengapa ini dan itu terjadi. Aku memperlihatkan peristiwa-peristiwa sejarah secara sandiwara. Aku tidak memberikan pengetahuan secara dingin dan kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak memberikan hal semacam itu...Aku mengayunkan tanganku dan mencobakannya. Kalau aku bercerita tentang Sun Yat Sen, aku betul-betul berteriak dan memukul meja". (de Jonge,2013:66-67)
Namun, jaman itu, dengan gaya berapi-api bak orator dan bukan guru pada umumnya, Soekarno justru dianggap gagal dan dipecat sebagai guru oleh Belanda (p.69)
Soekarno: dan perempuan-perempuan yang dicintainya
Salah satu aspek yang selalu menjadi perbincangan dalam membicarakan Presiden pertama RI ini adalah para perempuan yang ada disekitarnya. Rinto (2013:55-96) berhasil membahas istri-istrinya dalam bukunya The Love Story of Bung Karno:
1. Oentari 21-23
2. Inggit G 23-43
3. Fatmawati 43-52
4. Hartini 52-70
5. Kartini Manopo 59-68
6. RSD 62-70
7. Haryati 63-66
(Soemohadiwidjojo 62-66)
8.Yurike Sanger (64-68)
9.Heldy Djafar (66-69)
10. Amelia Amantea de la Rama
– bintang film Filipina (Soemohadiwidjojo: 44)
Selain istri-istrinya serta Ibunda nya yang mempunyai peran besar dalam kehidupan Soekarno, ada seorang perempuan lain yang juga memberi pengaruh besar dalam pribadi Soekarno. Ia adalah Sarinah. Sarinah adalah pengasuh Kusno kecil (Kusno adalah nama kecil Soekarno). Sebenarnya Sarinah adalah pembantu ibunda Soekarno, namun diakui Soekarno bahwa dari beliaulah ia menerima banyak rasa cinta dan kasih, serta pelajaran mencintai orang lain (Rinto, 2013:30). Lebih lanjut setelah kemerdekaan, Soekarno memberikan kursus pada wanita. Soekarno mengajarkan peran wanita dalam berjuang dan berpolitik serta mengajarkan bahwa menjadi wanita bukan berarti harus selalu berada di belakang pria. Kumpulan materi kursus ini kemudian dibukukan [dan diberi judul] Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoeangan Repoeblik Indonesia. (p.31)
Soekarno: sifat serta pandangan-pandangannya
Dalam pidato-pidatonya,
Soekarno sendiri mengukuhkan pandangan bahwa Pancasila adalah kepribadian dan
jati diri bangsa yang oisinal digali dari bumi Indonesia. Menurutnya, jika
ditarik satu kesimpulan besar, maka inti dari seluruh gagasan Pancasila adalah
gotong royong (Rinto,2013:25)
Sukarno bukanlah komunis. Kalimat Sukarno mengungkapan," Jangan mengira baha Marxisme itu harus komunisme. Tidak...! Marxisme adalah satu denk-methode, suatu cara pemikiran. Cara pemikiran untuk mengerti perkembangan bagaimana perjuangan harus dijalankan, agar bisa tercapai masyarakat yang adil." Bung Hatta sediri juga tidak mengingkari kalau beliau juga menggunakan metode pikir Marxist dalam menganalisa masalah ekonomi (de jonge, 2013:19)
Menurut banyak pihak,
saat itu kekuatan Soekarno untuk memukul Soeharto sebenarnya sangat
memungkinkan. Tapi nyatanya, Soekarno menolak untuk mengikuti saran bawahannya.
Soekarno hanya memerintahkan bawahannya untuk menghalangi-halangi upaya agar jangan
sampai berkembang jauh. Soekarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai
melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Soekarno, adalah hal yang
ditunggu-tunggu pihak asing (kaum kolonial yang mengincar Indonesia) sejak
lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan
Inggris, akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan
menyelamatkan fasilitas Negara mereka. (Rinto, 2013:29)
Begitulah, Soekarno yang
pemaaf dan yang sangat mencintai persatuan.
Beberapa kali Soekarno membebaskan dan merehabilitasi musuh politiknya,
seperti pilot Maukar, Mr Syafruddin Prawiranegara, Kolonel Ahmad Husen, Tan
Malaka dan Sutan Sjahrir (p.29)
Soekarno: sosok-sosok besar yang berpengaruh dalam hidupnya
Sang Nenek memberi kebudayaan Jawa dan Mistik;
Sang Bapak: Theosofisme dan
Islamisme
Sang Ibunda: Hiduisme dan
Buddhisme
Sarinah: Humanisme
Pak Tjokro: Sosialisme
Kawan-kawannya: Nasionalisme
Sun Yat Sen tentang Ekonomi
Gandhi: tentang kebaikan
Karl Marxiame dan Thomas Jeffesonisme dipelajari dan direnungkannya sendiri.
(Rinto, 2013:31)
Catatan:
Ada kisah-kisah yang mempunyai kemiripan dari satu buku dan lainnya, namun buku karya Walentina Waluyanti de Jonge mempunyai sudut pandang berbeda dalam memperkaya pengetahuan tentang Soekarno. Beliau adalah sejarawan yang melakukan studi tentang sejarah di Indonesia, kemudian juga melakukan studi tentang Soekarno di Belanda dengan menggunakan literatur yang saling memperkaya dari dua negara. Di buku ini juga dikupas tentang Westerling, termasuk catatan tentang tereksposnya pengakuan Westerling bahwa dia bertanggung jawab atas kekisruhan di Makassar yang baru terbuka tahun 2012.
Buku ini patut dibaca.
Referensi:
de Jonge, Walentina Waluyanti. (2013). Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen. Sukarno Undercover. Yogyakarta: Galang Pustaka.
Rinto, Ipnu. (2013). The Love story of Bung Karno: Jalan Cinta Sang Presiden.Yogyakarta: Buku Pintar.
Setiadi, Andi. (2013). Soekarno Bapak Bangsa: sebuah biografi inspiratif lengkap. Yogyakarta:Palapa.